Wednesday, July 08, 2009

Cerdas atau seolah cerdas?




Telah selesai pesta rakyat yang mungkin rakyat sendiri belum bisa merasakan bahwa pemilihan presiden ini merupakan sebuah pesta demokrasi. Rakyat hanya dijadikan tool untuk menentukan pilihan pemimpinnya. Karena didasarkan pada berita lebih banyak dibahas tentang masalah politik elit saja. Bagaimana koalisi antar partai untuk mengusung paket presiden dan wakilnya. Ideologisasi partai sudah tidak menjadi prinsip dalam berpolitik. Saya bisa ngasih apa, saya dapat apa, dengan siapa dan seterusnya ila akhir. Namun hal ini tidak membuat rakyat lantas putus asa dan diam saja. Mereka antusias menyelupkan jari kelingkingnya tanda telah selesai menyontreng calon presiden dan wakil presiden. Mereka berniat demi Indonesia yang lebih baik.
Berdasarkan quick count yang ada di televisi yang diinformasikan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), bisa diprediksi bahwa SBY - Boediono akan melanjutkan kepemimpinannya selama 5 tahun ke depan. Masyarakat memilih presiden dan wakilnya ialah mewakili diri sendiri. Tidak bisa digiring dan diarahkan seperti yang sudah - sudah. Banyak orang yang mengatakan bahwa masyarakat kita sudah cerdas. Saya tidak menjamin bahwa pernyataan ini benar atau tidak benar. Nah di sini yang menurut saya menjadi masalah utama yaitu tidak ada yang bertanggungjawab terhadap pendidikan politik mereka. Padahal dalam berpolitik diperlukan sebuah pengetahuan yang menuntut informasi sebanyak - banyaknya. Dan untuk menuju ke sana, saat ini hanya sebagian kecil saja orang - orang yang bisa mengaksesnya. Hanya orang - orang yang berpendidikan dan mampu saja yang bisa mengaksesnya. Jadi banyak masyarakat kita yang tidak bisa mengakases itu.
Hal ini sebenarnya paradoks dengan pernyataan antara masyarakat yang cerdas ataukah masyarakat yang seolah cerdas. Yang bisa dijadikan korelasi ialah masyarakat seolah pintar politik namun sebenarnya tidak demikian. Karena keadaan yang menjadikan masyarakat kita masih seperti ini. Fenomena pilpres tahun ini seolah mengulang pilpres tahun 2004 lalu. Yaitu ketika pasangan dwi tunggal Amien Rais - Siswono Yudho H yang saat itu didukung oleh kaum intelek dan berpendidikan tinggi, namun mereka harus rela tidak mengikuti pilpres putaran ke - 2. Mereka finish pada urutan ke - 3 pada putaran pertama saat itu. Saya melihatnya posisi Dwi tunggal itu menitis pada pasangan JK - Wiranto berdasarkan quick count LSI yang telah menetapkan SBY - Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2008 - 2009.
Mungkin hal ini juga disebabkan oleh jenuhnya masyarakat yang sudah lelah dengan janji. Karena yang dibutuhkan masyarakat saat ini ialah kepastian, bukan janji - janji saja. Tidak perduli apakah itu baik atau tidak, yang penting pasti dan tinggal melanjutkan. Hal ini senada dengan yang telah disampaikan oleh sosiolog UI, Imam Prasojo. Berbeda dengan yang dibutuhkan masyarakat Amerika saat ini yang menginginkan perubahan. Maka muncullah sosok Barack Obama yang menawarkan perubahan dan dengan mudah dia melenggang menuju gedung putih. Hanya orang yang bisa membaca peluang pada setiap momentum saja yang bisa menjadi orang besar. Semoga kita bisa menjadi bagian dalam orang - orang tersebut.

1 comment:

Smadangawi Blogger said...

Kita tunggu hasil resminya ....