Friday, September 26, 2008

Suasana kampus

Hari ini merupakan hari terakhir aktivitas kampus Universitas Brawijaya. Maka banyak sekali teman - teman saya yang mudik hari ini. Namun bagiku, merupakan hal yang harus kulalui dengan sepi saya berangkat ke kampus. hanya ada beberapa yang hadir di kampus dengan keterpaksaan. pun demikian dengan aku.

Stress

Sepertinya saya sedang stress dengan skipsiku...

Menjadi pemateri di Oryza FM


Sore kemarin saya diundang Radio Oryza FM Fakultas Pertanian. Diundang dalam rangka mengisi materi KURMA (Kultum Ramadhan) yang diadakan tiap hari jam 17.00 - 17.30. Tema kemarin ialah Bulan Syawal bulan kemenangan. Banyak SMS yang masuk setelah saya menjadi pemateri tersebut. Untuk lebih jelasnya saya akan menulisnya di Blog ini, di keseharian syeh. .



Kemenangan yang sebenarnya ialah melestarikan nilai-nilai Ramadhan

Oleh : Joko Widodo*

Berakhirnya bulan Ramadhan memunculkan dua perasaan sekaligus, yakni sedih dan gembira. Sedih karena Ramadhan terasa begitu cepat berlalu, padahal belum banyak rasanya amal shalih yang kita lakukan, belum banyak shadaqah yang kita berikan, belum banyak ayat-ayat Qur’an yang kita lantunkan, dan belum banyak sujud yang kita kerjakan. Padahal, tahun depan belum tentu kita bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan yang mulia ini. Siapa yang bisa memberikan jaminan, bahwa Ramadhan dan Idul Fitri tahun depan Malaikat maut tidak datang menjemput kita? Siapa yang bisa memberikan kepastian bahwa ajal kita tak kan tiba mendahului Ramadhan dan Idul Fitri tahun depan ?

Bulan Syawal ialah saatnya kita kembali pada fitrah kita, kembali pada kesucian kita. Kita dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci dan cenderung pada kebenaran yang hakiki. Akan tetapi, setelah kita menginjak dewasa, pergaulan kita semakin luas, kebutuhan hidup kita semakin banyak, angan-angan kita semakin menerawang, jiwa yang suci tadi terkontaminasi dengan virus-virus kemaksiyatan, dengan debu-debu dosa kepada Allah. Semua anggota tubuh kita memberikan kontribusi dalam berbuat dosa. Lisan kita, berapa banyak orang yang telah tersakiti oleh lidah kita ? Mata kita, berapa banyak pendangan haram yang telah dilakukan oleh mata kita? Hati kita, berapa banyak penyakit hati telah bersemayam dalam hati kita, seperti iri, dengki, buruk sangka, sombong, dsb? Tangan kita, berapa banyak dosa yang telah dilakukan akibat tangan kita.

Ramadhan sebagai lembaga pendidikan istimewa bagi orang beriman. Bagi orang beriman, Ramadhan merupakan training center atau kawah candradimuka, tempat penggemblengan jiwa agar menjadi pribadi yang paripurna. Selama satu bulan, kita dilatih untuk melakukan pensucian jiwa melalui tarbiyah dengan nilai-nilai Ramadhan yang diharapkan dapat kita jadikan bekal untuk memasuki 11 bulan yang akan datang. Otak kita dibersihkan, emosi kita dicerdaskan, spiritual kita dicerahkan, dan religiusitas kita dimantapkan. Hal itu tidak lain untuk mengantarkan kita sebagai insan muttaqin (manusia bertaqwa), sebagaimana dinyatakan Allah dalam Qs Al Baqarah: 183 yang sudah sangat popular setiap bulan Ramadhan.

Dalam agama kita, taqwa adalah ultimate goal seluruh rangkaian peribadatan: perintah shalat, ujungnya adalah taqwa, perintah zakat ujungnya adalah taqwa, perintah puasa ujungnya adalah taqwa, perintah haji ujungnya adalah taqwa. Taqwalah yang menentukan posisioning kita di hadapan Allah Yang Maha Agung, bukan harta kita—seberapa banyak pun harta yang kita miliki, bukan gelar akademik kita, seberapa hebat dan panjang pun gelar kita, bukan jabatan kita, seberapa tinggi pun kedudukan kita, bukan pula afiliasi kepartaian kita, apapun partai yang kita anut. “Inna aqramakum ‘indallahi atqaa kum” (Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang-orang yang bertaqwa” (QS Al Hujurat: 13). Begitu pentingnya taqwa, sampai Nabi berwasiat agar kita menjaga ketaqwaan, di manapun kita berada “Ittaqullah, khaitsumma kunta” (Bertaqwalah kepada Allah, di manapun kalian berada).”

Bulan ramadhan boleh berlalu, tetapi satu hal tidak boleh meninggalkan kita dan harus tetap bersama kita, yaitu spirit dan moralitas shiyamu ramadhan. Inilah yang harus mangisi sebelas bulan ke depan dalam perjalanan hidup kita, sebagai pribadi, keluarga, warga masyarakat, ummat dan bangsa. Prestasi yang kita capai dengan ‘ibadat ramadhan hendaklah kita jadikan modal untuk meraih “shiyamuddahri” , yakni nilai, pahala serta kebaikan puasa sepanjang masa. Agar hidup kita tidak pernah lepas dari keberkahan, dari maghfirah dan rahmat Allah SWT.

Dalam rangka meraih nilai shiyauddahri itu maka Rasulullah saw menganjurkan ummatnya untuk melanjutkan shiyamu ramadhan dengan puasa sepekan di bulan syawal. Sebagaimana sabda beliau:

( مَنْ صَامَ رَمَضَان ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر )

“Barang siapa menunaikan shiyamu ramadhan dan diikuti puasa enam hari pada bulan syawal, maka nilainya seperti puasa sepanjang masa” (HR Muslim)

Adapun akhlaqiyah atau nilai-nilai moralitas Ramadhan yang penting untuk tetap dipertahankan pasca ramadhan adalah sbb:

  1. Suasana Religius

Suasana yang bernuansa agama selama Ramadhan sangat terasa, baik di rumah kita, di lingkungan kita, di masjid kita dan bahkan di televisi kita. Cobalah lihat, masjid, mushola dan surau jamaahnya penuh saat Ramadhan. Kita yang sebelum ramadhan jarang berjamaah shalat di masjid, saat Ramadhan ringan betul melangkahkan kaki bersama anak-anak ke masjid. Karena itu, meski Ramadhan telah berlalu, mari tetap kita hidupkan masjid-masjid kita dengan melestarikan shalat berjamaah di masjid.

  1. Kemampuan mengendalikan diri

Esensi dari puasa (ash-shiyam) adalah al-imsak, yang artinya mengendalikan diri. Kemampuan pengendalian diri ini merupakan kunci sentral terwujudnay tatanan yang baik dalam masyarakat. Sebaliknya, kegagalan mengendalikan diri dari godaan nafsu syaitan, akan meninimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan. Seorang penguasa yang gagal mengendalikan dirinya, akan menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak heran KKN, masih marak di negeri yang mayoritas muslim ini. seorang pebisnis yang gagal mengendalikan diri akan melakukan berbagai cara pintas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, meskipun merugikan orang lain dan melanggar nilai-nilai agama. Seorang remaja yang gagal mengendalikan diri dalam pergaulanmnya, akan terjebak dalam pergaulan bebas yang merusak moralitas dan masa depannya. Pelajaran pengendalian diri selama puasa Ramdahan hendaklah kita hidupkan setelah Ramadhan usai.

  1. Kesadaran akan pengawasan Allah (ma’iyatullah).

Saat kita sendirian di suatu tempat yang tidak ada orang lain melihat, kita sebenarnya bisa saja makan atau minum dan kemudian berpura-pura puasa kembali. Tidak ada orang yang tahu. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan karena orang-orang yang berpuasa sadar akan kebersamaan Allah dalam hidupnya (ma’iyatullah). Meskipun orang lain tidak melihat, tetapi kita sadar bahwa Allah melihat kta. Berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk korupsi dan kolusi, dikarenakan tidak adanya kesadaran pelakunya bahwa Allah melihat perbuatan dan tingkah lakunya. Mereka merasa aman dapat merekayasa agar orang lain tidak tahu, agar terbebas dari pemeriksaan auditor. Padahal ada auditor Yang Maha Agung dan Maha Melihat yang mengawasi dan mengetahui seluruh perbuatan mereka.

Sifat ini telah disebutkan di dalam banyak tempat dalam Al-Quran. Di antaranya, firman Allah:

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hadid: 4)

Inilah sikap ikhsan. Kalau sikap ini kita lestarikan pasca Ramadhan, khususnya oleh politisi, pejabat public dan pelaku bisnis, insya Allah berbagai penyimpangan yang terjadi akan bisa diminimalisir.

  1. Al shidqu yakni kejujuran.

Dimensi kejujuran dalam puasa sangat ditekankan. Kejujuran merupakan bukti paling niscaya bahwa seseorang dalam suasana taqwa. Sebagaimana firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة :119)

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan pastikanlah kamu sekalian bersama orang-orang yang jujur”

Kejujuran adalah gerbang menuju segala kebaikan, sedangkan ketidak jujuran akan membawa kepada pelbagai penyimpangan dan kejahatan. Orang harus berlatih untuk jujur, sekali dua kali tiga kali dan seterusnya, sehingga ia dicatat oleh Allah sebagai pribadi yang jujur (AL SHIDDIEQ). Kemudian telah ada jaminan dari Allah, bahwa orang jujur akan mujur, sedang yang tidak jujur cepat atau lambat akan hancur. Bukti empirik telah begitu banyak membenarkan korelasi ini.

5. Al tathahhur yakni membersihkan diri

Ramadhan adalah bulan suci, dan bagi yang menjalankannya dengan baik akan membersihkan dirinya dari segala noda dan dosa, sebab sebulan penuh orang yang puasa menjalani proses pembersihan yang menyeluruh. Hanya dengan cara demikian puasa seseorang diterima, dan do’anya dikabulkan. Kemudian bersama ‘idul fithri sepenuhnya kembali kepada kondisi fithrah. Adalah penting kita ingatkan kepada diri, janganlah apa yang sudah suci kita nodai lagi, sikap perilaku yang sudah bersih jangan kita kotori lagi.

Penghasilan yang sudah halal dan thayyib jangan sampai kita campuri lagi dengan yang remang-remang (syubhat) apalagi yang jelas-jelas haram. Puasa ramadhan melatih kita bersabar dan kuat menahan lapar, dan menegaskan bahwa kita tidak akan pernah kuat menahan panasnya api neraka.

6. Al mujahadah, membanting tulang

Dalam keadaan lapar dan dahaga shiyamu ramadhan memacu insan beriman untuk lebih giat lagi melakukan aktifitas taqarrub ilallah seperti shalat, tilawatil quran dan kegiatan yang bemanfaat bagi kehidupan sosial, seperti shilaturahim, infaq shadaqah, mengajarkan ilmu, memberi makanan berbuka bagi yang puasa, bahkan berjihad di jalan Allah menumpas pelbagai bentuk agresi terhadap Islam dan ummat Islam. Wajarlah sejarah mencatat di antara hasil mujahadah ramadhan berupa kemenangan gemilang di perang badar pada tahun ke-2 Hijriyah, pembebasan Makkah (fathu Makkah) pada tahun ke-6 Hijriyah, dan kemenangan perang Amoria yang meluluh lantahkan pasukan Romawi di Byzantium pada tahun 214 H pada masa Al Mu’tashim Billah. Memang semangat ramadhan adalah semangat juang untuk meraih pelbagai kemenangan.

7. Mempertahankan surplus spiritual (Al faidhu wal insyirah)

Shiyamu ramadhan mendidik surplus spiritual dan moral, menjaga diri agar tidak terjebak pada kekerdilan jiwa dan kenihilan moral. Mendidik para shaimin untuk mengokohkan jiwanya serta melapangkan dadanya. Dengan menegaskan pada dirinya “inni shaimun” aku ini sedang puasa, ia mampu menggagalkan setiap provokasi negatif yang akan merusak hubungan sosial menjadi konflik yang menghancurkan semua pihak. Bahkan semakin surplus jiwanya insan puasa yang telah memantapkan statusnya sebagai “’ibadurrahman/hamba Allah yang Rahman” sanggup membalas hal-hal yang buruk dengan kebaikan, tarikan negatif dengan ajakan yang positif. Ketika orang-orang jahil yang sedang jadi hamba syetan atau hawa nafsunya menyerang dengan ucapan yang tidak baik, maka hamba Arrahman membalasnya dengan do’a keselamatan.



Semoga dari uraian sedikit ini bisa menambah ketaqwaan kita. Amin